Lingkungan sosialisai individu baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, lingkungan pendidikan, juga lingkungan di tempat mereka bekerja dan juga semua lingkungan yang bersinggungan dengan individu menciptakan suatu skema- skema tindakan. Skema- skema yang terbentuk, kemudian terinternalisasi dan melalui skema- skema tersebut indivdu mempersepsi, memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial. Skema- skema yang akhirnya memberikan kerangka bagaimana bertingkah laku bagi individu tersebut di dalam lingkungan dimana dirinya berada. Dalam hal ini mereka, mahasiswa yang berpenampilan “islami” saling bersosialisai satu sama lain, misalnya melalui suatu organisasi kemahasiswaan yang menaungi mereka, hingga akhirnya membentuk suatu gambaran, skema- skema berpikir dan bertindak yang akhirnya secara tidak sadar membentuk mereka ‘terbentuknya penyesuaian diri’. Mereka yang berpenampilan “islami” secara otomatis akan bersikap lebih menjaga pandangan, lebih bersikap lemah lembut dengan kelompok mereka, dan dengan “sesamanya” akan saling memanggil “akhi” atau”ukhti”. Hal ini adalah karena adanya suatu skema- skema yang terbentuk karena pengalaman dari terjalinnya hubungan individu tersebut dengan individu lain di dalam suatu struktur yang ada dalam ruang sosial, atau disebut habitus. Bourdieu menjelaskan habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah- ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generative bagi praktik- praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. (Bourdieu, 1979: vii)
Dijelaskan pula bahwa habitus bekerja pada tingkat bawah sadar :
Skema- skema (schemes) habitus, bentuk- bentuk klasifikasi primer, memperoleh efektifitas khususnya berkat fakta bahwa mereka berfungsi di bawah lapisan kesadaran an bahasa, di luar jangkauan pemerikasaan introspektif yang cermat atau pengendalain kehendak.dengan mengorientasikan praktik- praktik secara praktis, skema- skema tersebut menanamkan sesuatu – yang secara keliru disebut sebagian orang sebagai nilai- nilai ke dalam gerakan tubuh (gestures) yang paling otomatis atau ke dalam keterampilan tubuh yang yang kelihatannya remeh- cara berjalan atau membuang ingus, cara makan atau berbicara, dan mengikut sertakan prinsip- prinsip konstruksi dan evaluasi dunia sosial yang paling fundamental, yakni prinsip- prinsip yang secara langsung mengungkapkan pembagian tenaga- kerja… atau pembagian kerja dalam memperoleh dominasi.
(Bourdieu, 1984: 466)
Habitus inilah yang kemudian membentuk suatu pandangan mengenai siapa yang pantas dipanggil dengan sebutan “akhi” dan “ukhti”. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu mahasiswi yang juga menggunakan panggilan tersebut pada kelompoknya, mahasiswi ini yang memiliki nama Arifah ini memaparkan, “kalau menurutku sih karena dalam kelompok itu ada suatu ikatan dan tujuan bersama, jadi sebutan itu sebagai identitas untuk membedakan dan mempererat hubungan anggotanya”. Ungkapnya. Dari pemaparan di atas, baik dari mahasiswa yang menggunakan panggilan “akhi” dan “ukhti” dalam pergaulannya dan dari mahasiswa yang tidak menggunakan panggilan tersebut, memperjelas adanya unsur-unsur atau skema-skema yang terbentuk seperti kebudayaan atau kebiasaan, juga tentang identitas suatu kelompok di mana mereka bersosialisasi sehingga melahirkan habitus yang secara tidak sadar telah menanamkan sesuatu yang mereka anggap sebagai nilai- nilai dalam bertindak dan bertingkah laku, hingga akhirnya membuat mereka menentukan siapa-siapa sajakah yang berhak mendapatkan panggilan “akhi” dan “ukhti”. Dalam pembahasan ini, tentu saja unsur modal sosial juga tidak bisa di abaikan.
Modal dapat mencakup hal- hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut ‘yang tak tersentuh’ namun memiliki signifikansi secara kultural, missal pestice, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola- pola konsumsi). (Bourdieu, 1986). Berkaitan dengan modal yang dijelaskan oleh Bourdieu, jika dikaitkan dengan fenomena penggunaan panggilan “akhi” dan “ukhti” di dalam wilayah kampus, mereka yang dirasa berhak menggunakan panggilan tersebut adalah mereka yang selalu berpenampilan “islami”. Biasanya mereka mengikuti organisasi mahasiswa semacam majelis-majelis yang bernafaskan rohani. Jadi mereka yang memiliki penampilan seperti yang dijelaskan di atas, memiliki modal untuk berhak mendapatkan panggilan tersebut, dibandingkan mereka yang berpenampilan berbeda dengan kelompok yang bercelana gantung dan berjenggot ataupun yang berjilbab lebar. mereka yang mengikuti organisasi kerohanian lebih memiliki modal untuk dapat dipanggil dengan panggilan berbahasa arab tersebut dibandingkan dengan mereka yang bukan merupakan anggota.
Disadari atau tidak berada di dalam lingkungan kampus, kita telah terkotak-kotakkan oleh apa yang di sebut dengan karakteristik masing-masing mahasiswa. Seperti yang telah kita bahas di atas tentang pemanggilan khusus dengan menggunakan bahasa arab seperti akhi, ukhti, anti, antum, akhwat dan ikhwan. Pemanggilan tersebut tidak berlaku bagi seluruh mahasiswa di kampus, meskipun jika dilihat dari arti bahasa Arabnya, semua mahasiswa pun bisa dipanggil dengan panggilan demikian, namun kenyataannya pemanggilan itu hanya bagi mereka mahasiswa yang mempunyai karakteristik tertentu, seperti berjilbab besar, menggunakan kaos kaki bagi perempuan, dan bagi laki-lakinya memiliki ciri-ciri berejenggot, celana menggantung dan terdapat tanda hitam di kepalanya.
Biasanya mereka berada dalam satu wadah organisasi Islam di kampus. Organisasi yang fokus kepada kegiatan-kegiatan agama Islam di kampus dengan tujuan menyampaikan ajaran agama Islam. Dalam organisasi tersebut, pemanggilan dengan cara di atas sudah merupakan budaya dalam pergaulan seahari-hari mereka. Mereka memanggil teman perempuan dengan panggilan ukhti yang dalam bahasa Arab berarti saudara perempuanku, mereka memanggil teman laki-laki dengan panggilan akhi yang berarti saudara laki-lakiku. Kemudian mereka menyebut laki-laki yang berada dalam organisasi Islam tersebut dengan panggilan ikhwan dan perempuan yang berada di dalamnya mereka dengan akwat. Mereka memakai istilah-istilah tersebut pada saat berinteraksi dengan sesamanya sedangkan jika berinteraksi dengan orang lain di luar ranahnya, istilah-istilah tersebut tidak akan muncul. Seperti jika berada dalam kelas, misalnya seseorang tidak akan memanggil ukhti kepada teman perempuannya di kelas karena dia tidak mempunyai karakteristik untuk dipanggil demikian.
Berpikir dalam term ranah berarti berpikir tentang ruang produksi sebagai suatu sistem yang sedemikian rupa, sehingga karakteristik masing-masing produsen intelektual didefinisikan oleh posisi mereka dalam sistem ini. Sebuah ranah merupakan sebuah semesta yang di dalamnya karekateristik para produsen didefinisikan oleh posisi mereka dalam relsi-relasi produksi, oleh kedudukan yang mereka tempati dalam sebuah ruang relasi-relsi objektif tertentu. Ruang inilah yang harus dianalisis, dalam setiap kasusnya, yang pada saat bersamaan menyingkirkan studi tentang individu-individu terisolasi, seperti praktik sejarah sastra yang memproduksi rangkaian ’manusia dan karya mereka’.
(Bourdieu, edisi bahasa Prancis 1976: 420 dalam “(habitus x modal)+ ranah = praktik” 2009:98)
Dari pernyataan Bourdieu tersebut, maka organisasi Islam di kampus merupakan sebuah ruang produksi sebagai suatu sistem yang sedemikian rupa sehingga karakteristik-karakteristik orang yang berada di dalamnya didefinisikan oleh posisi mereka dalam sistem ini. Karekteristik seorang perempuan misalnya yang berjilbab besar, menggunakan kaos kaki, dan menggunakan deker di tangannya ini didefinisikan sebagi seorang yang dipanggil ukhti atau akhwat dan merupakan seroang yang mempunyai posisi dalam organisasi Islam di kampus. Begitu juga jika seorang laki-laki berpenampilan kalem, dengan jenggot dan celana menggantung maka akan didefinisikan sebagai seseorang yang berkecimpung dalam ranah organisasi Islam di kampus dan mendapat panggilan akhi atau ikhwan.
Organisasi Islam di kampus merupakan sebuah ranah yang dibentuk oleh berbagai agen sosial yang berpartisipasi di dalamnya dan menjadi titik-titik pertemuan antar individu yang memiliki minat, ataupun budaya yang sama. Dalam hal ini individu dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dalam ranah dan posisi objektifnya. Misalnya individu yang bergabung dengan organisasi ini kemudian dapat berkumpul dengan individu-individu yang lain yang mempunyai pemahaman yang sama sehingga dapt bertukar pikiran. Ranah dalam hal ini merupakan pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal yang berkaitan seperti gaya berbusana, pemikiran dan pemahaman digunakan dan di-share kepada yang lain.
Tidak hanya itu, struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual atau kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk dari aktor (baik itu individu atau kolektif) (Ritzer, 1996:525).
Karena itu, posisi obyektif dari individu di dalam sebuah orgsnisasi Islam di kampus ditentukan oleh modal-modal yang dimilikinya pada relasinya dengan individu lain, pola hubungan yang terbentuk pada pengertian ini dapat berupa tingkah laku yang terpola dan khas. Seperti pemanggilan khusus yang sudah dijelaskan di atas. Dalam ranah ini, apa yang sudah menjadi minat, tujuan dan budaya tersistem dengan rapi dan diperjuangkan.
Kebiasaan dan modal yang dimiliki individu menentukan posisi objektif dalam ranah ini. Kepemilikan modal besar akan mempengaruhi dominasi posisi objektif dalam hubungannya dengan individu lainnya yang mempunyai kepemilikan modal lebih kecil. Dalam hal ini misalnya, individu yang dianggap lebih alim dan lebih sholeh atau sholehah akan mempunyai banyak pengaruh di dalam ranah ini, atau dalam hal ini adalah organisasi Islam yang berada di kampus. Sebaliknya jika modal yang dimiliki lebih kecil atau berkurang maka posisinya pun akan semakin tidak diperhitungkan. Misalnya saja seseorang yang tadinya memakai jilbab yang besar, namun pada pekembangannya ia justru semakin lama semakin memperkecil ukuran jilbab yang dipakainya, maka otomatis panggilan ukhti itupun tidak akan diberikan lagi padanya.
Praktik sosial merupakan bagaimana masyarakat dan segala seluk beluknya melakukan suatu tindakan atau praktik komunikasi dengan lingkunganya dengan cara yang berbeda dengan tujuan tertentu dan sebuah negoisasi pribadi yang mendasari tindakan tersebut.Dalam bertutur kata dan bersikap manusia mempunyai seluk-beluk yang berbeda baik untuk membentuk identitas diri,resistensi ,adaptasi maupun melindungi diri agar mereka berada pada posisi yang tepat untuk diri mereka.
Dalam hal ini kita akan membicarakan tentang bagaimana bahasa bisa membentuk konstruksi pemikiran tertentu dalam masyarakat yang menghasilkan identitas kelompok yang berbeda, dalam foto diatas dapat kita lihat sekelompok orang yang mengenakan baju sesuai syariah yang diajarkan oleh agama dengan jilbab yang menutupi separuh badan, memakai penutup kaki dan hanya terlihat wajah dan telapak tangan ketika dalam perkumpulan itu maka wanita itu akan saling memanggil dengan sebutan ukhti atau yang sering disebut dengan akhwat, selain itu interaksi antara laki-laki dan perempuan sangat dibatasi dan dijaga.
Hanya saja dapat sebutan itu pada praktinya menimbulkan sebuah tanda tany. Seperti suatu ketika, seseorang yang notabene tidak memakai jilbab besar berjalan dengan temannya yang memakai jibab besar. Ketika berjalan mereka bertemu dengan seorang jilbaber dan bersalaman sambil berkata”mau kemana ukh?”dan salah satu orang yang memakai jilbab besar tersebut menjawab mau ke TU dan dia balas jawab “oh ya sudah mari ukh, mba…..?. dari contoh tersebut terlihat jelas bahwa meski “ukhti” adalah panggilan untuk perempuan, namun agar seorang perempuan dipanggil seperti itu haruslah memenuhi kriteria tertentu atau mempunyai modal agar bisa dipanggil dengan sebutan “ukhti”.
Hal tersebut sudah menjadi praktik kebudayaan di kalangan para aktivis agama di kampus, seperti kata seorang informan berinisial N yang kami wawancarai 11 Juni 2011 yang lau, “ itu memang sudah menajdi kebudayaan dari dulu, dan meskipun kita belum kenal seseorag namun seseorang itu berpenampilan seperti kita, berjilbab besar, maka kami akan memanggilnya ukhti”. Ketika kita kaitkan itu dengan teori yang disampaikan Bordieu maka itu adalah sebuah praktik yang berasal dari sebuah kebiasaan dan kriteria tertentu yang harus kita miliki dengan itu kita melakukan suatu praktik yang berbeda.
Praktik tersebut kadang dirasa diskriminatif oleh sebagian orang karena kadang orang yang tidak dipanggil ukhti atau akhi ketika berada dalam suatu kelompok yang mempunyai panggilan seperti itu akan merasa tidak nyaman dan merasa lebih tidak baik atau belum pantas dipanggil begitu,padahal sebenarnya itu adalah sebuah bahasa. Menurut hasil wawancara kami bagi orang yang melakukan praktik itu maka dia merasa lebih nyaman,lebih merasa saling memiliki dan merasa dihormati dengan panggilan itu,maka disitulah praktik sosial bisa membentuk suatu struktur tertentu dalam masyarakat.
Dan disisi lain para orang diluar itu jadi mudah untuk membatasi pergaulan mereka karena memiliki konstruksi tertentu mengenai mereka selain itu mereka akan merasa tidak nyaman jika dipanggil dengan ukhti atau akhi ketika merasa belum memilki kriteria yang sama yang menjadi seperti meraka (kelompok ikhwan maupun akhwat). Itu yang dikatakan modal dalam teori praktik sosial. Padahal kata-kata tersebut adalah sebuah transsisi bahasa yang kemudian masuk ke dalam budaya baru dan mengalami penyempitan makna bahwa ikhwan maupun akhwat harus berpenampilan sedemikian rupa dan bergaul dengan orang yang seperti itu juga dalam ruang yang sama.
Penyempitan makna itu mempengaruhi praktik sosial yang terjadi, di mana praktik yang terjadi itu adalah bentukan dari modal sosial yang dimiliki seseorang yang membaur dengan kebiasaan dan dilakukan dengan pertimbangan situasi kondisi yang di sebut denga ruang atau ranah tertentu. Dari habitus, modal dan ruang yang kita pelajari kita dapat menganalisis bagaiman habitus membentuk praktik,bagaimana modal mempengaruhi praktik dan bagaimana ruang mengatur praktik. Praktik yang dilakukan hanya sebuah negosisasi yang dapat menjelaskan mengapa sesorang melakukan itu dan kita akan menemukan sebenarnya apa yang melatar belakangi mereka dalam berinteraksi dengan bahasa tertentu dan apa yang akan dibentuk melalui praktik komunikasi tersebut.